BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat menjadi landasan bagi setiap
perkembangan keilmuan. Jadi tak heran jika Filsafat sering dikatakan sebagai Mother
of Science. Karena filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mencari hakekat
dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Filsafat meliputi pengetahuan
metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan. Dan dalam dunia
pendidikan ilmu filsafat sangatlah penting, karena dengan memiliki ilmu
filsafat kita akan mampu berfikir rasional.
Makalah tentang pemikiran tokoh
Yunani pada zaman abad pertengahan yaitu Thomas Aquinas ini penulis buat untuk
tugas individu mata kuliah FILSAFAT ILMU. Disamping itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis tentang siapa saja tokoh – tokoh
dunia yang terkenal, khususnya tentang siapa dan bagaimana seorang Thomas
Aquinas.
Penggunaan filsafat dengan pemikiran
kritis yang sangat menekankan rasio manusia itu sungguh tidak mendapatkan
tempat dalam abad pertengahan. Sebab bagi bapak-bapak Gereja dunia iman –
teologi tidak bisa dimasuki oleh akal budi manusia apalagi dengan penggunaan
intelek rasio manusia dalam berfilsafat. Sehingga dunia filsafat tidak
mendapatkan tempat. Tetapi bagi Thomas Aquinas rasio atau akal budi dapat
membantu manusia untuk menjelaskan ajaran teologi atau iman kepada umat agar
umat dapat mengerti tentang wahyu Tuhan itu sendiri. Dan disinilah penggunaan
akal budi itu penting dan menjadi bagian dari dunia teologi/iman. Dan dunia
teologi/iman dapat menghantar manusia kepada pengenalan akan sumber kebenaran
dan pengetahuan yaitu Allah, melalui pengetahuan yang diperoleh melalui proses
kerja akal atau campur tangan manusia dalam menerima tawaran keselamatan yang
dari wahyu itu sendiri. Bagaimana Thomas Aquinas dapat memberikan ruang gerak
bagi akal dan iman itu sendiri. Dua jalur iman dan reasons ini dapat kita
temukan pada penjelasannya lewat teori pengetahuannya.
BAB II
BIOGRAFI THOMAS AQUINAS
Thomas Aquinas
adalah filsuf dan teolog Abad Pertengahan Eropa terbesar. Abad Pertengahan di
Eropa adalah zaman keemasan bagi kristianitas. Alam pikir dalam masa ini juga
kerap mendapat reaksi keras dari masa-masa sesudahnya, yaitu abad-abad modern.
Salah satu usaha yang menjadi minat besar para filsuf abad ini adalah
menyelaraskan iman dan rasio. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan
ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat itu menentukan pemikiran di Eropa,
dengan filsafat Aristoteles, dan dengan demikian memberikan impuls-impuls baru
bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak Thomas Aquinas, filsafat mulai
berkembang sebagai ilmu tersendiri.
Thomas
dilahirkan di Rocca Sicca di Italia pada 1225. Di masa sekolahnya, tubuhnya
yang berat dan lamban menyebabkan dia mendapat julukan “lembu bebal”. Di
tahun-tahun kemudian tulisan-tulisannya sangat banyak, sangat luas dalam
jangkauan maupun tingkat kepentingannya, sehingga ia memperoleh sebutan Doktor
Malaikat (Angelic Doctor). Pengaruhnya telah menjadi sangat luas sehingga pada
waktu-waktu kemudian ia disebut sebagai Doktor Umum (Common Doctor) dari Gereja
Katolik. Menjelang usia 20 tahun ia bergabung dengan tarekat Santo Dominikus
dan menjadi murid Albertus Magnus di Paris dan Köln. Setelah studinya selesai
ia mengajar teologi di Universitas Paris dan Köln dan di berbagai tempat lain
di Italia. Ia meninggal dalam usia 49 tahun pada 1274 di biara Fossanuova dalam
perjalanannya ke Muktamar Gereja di Lyon. Thomas Aquinas menjadikan Aristoteles
dasar pemikirannya tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar
Augustinus. Ia memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pikiran Aristoteles,
teologi Augustinus dapat diberi pendasaran yang lebih mantap. Pengaruh Thomas
amat besar. Berkat dia, Aristoteles menjadi “sang filsuf” (the philosopher) di
Barat sampai abad ke-17. Pendekatan Aristoteles yang bertolak dari realita di
dunia memungkinkan perkembangan ilmu-ilmu alam yang selama seribu tahun
seakan-akan dilupakan di Barat dan dengan demikian menempatkan Eropa Barat pada
jalur kerohanian yang akan menghasilkan budaya modernitas.
Dua karya utama
Thomas adalah berupa Summae, artinya ikhtisar teologi dan filsafat yang sangat
luas. Summae contra Gentilis disusun dan dimaksudkan sebagai sebuah buku
pelajaran (textbook) bagi para misionaris. Summae Theologiae (yang edisi kritis
terkahirnya sampai terdiri dari 60 jilid) telah digambarkan sebagai “prestasi
tertinggi dari sistem teologis Abad Pertengahan dan dasar yang diterima untuk
teologi Katolik Roma modern”. Memang, karya-karya Thomas termasuk sebagai
karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusasteraan kristiani. Dalam
karya-karyanya yang kebanyakan bersifat teologis, terdapat suatu sintesis
filsafat yang mencolok, sintesis yang belum pernah ada. Meskipun Thomas
mempunyai maksud utama untuk menciptakan suatu teologi, ia tetap mengakui
otonomi filsafat yang mendasarkan diri kepada kemampuan akal budi yang dimiliki
manusia demi kodratnya. Menurutnya, akal memampukan manusia untuk mengenali
kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sedangkan teologi memerlukan wahyu
adikodrati. Berkat wahyu adikodrati, teologi dapat mencapai kebenaran yang
bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya, hal trinitas, inkarnasi,
sakramen). Oleh karena itu teologi memerlukan iman. Iman adalah suatu sikap
penerimaan atas dasar wibawa Tuhan. Dengan beriman manusia dapat mencapai
pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh
akal semata. Meskipun misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan
akal. Ia tidak anti akal. Dan meskipun akal tidak dapat menemukan misteri, akal
dapat meratakan jalan yang menuju ke misteri (prae-ambulum fidei).
Dengan perkataan
lain, Thomas memperlihatkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling
bertentangan melainkan berdiri sendiri secara berdampingan. Pengetahuan itu
adalah pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah berpangkal
pada terang akal budi dan yang sasarannya adalah hal-hal yang bersifat insani
dan umum. Pengetahuan iman berpangkal pada wahyu adikodrati dan yang sasarannya
adalah hal-hal yang diwahyukan Tuhan secara khusus, yang disampaikan kepada
kita melalui kitab suci di dalam tradisi Gereja. Meskipun begitu perlu dicatat
juga bahwa ada hal-hal yang termasuk baik bidang filsafat maupun teologi
(misalnya, pengetahuan tentang Tuhan dan jiwa). Karena itu, filsafat dan
teologi dapat diumpamakan dengan dua buah lingkaran yang - sekalipun yang satu
berada di luar yang lain - bagian tepinya ada yang bertindihan. Dua pokok
pengajaran yang berhubungan dengan diskusi-diskusi sekarang ini adalah:
Pertama, bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan (supaya tahu bahwa Tuhan itu
ada), dan Kedua, ajarannya mengenai analogi (supaya tahu beberapa sifat Tuhan).
BAB III
FILOSOFI
THOMAS AQUINAS
Lima Jalan (Quinque Viae, The
Five Ways)
Thomas memang berpendapat bahwa
rasio insani dapat mengenal adanya Tuhan, meskipun secara tidak langsung
melainkan hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu ia menolak pembuktian
yang diberikan oleh Anselm dengan argumentasi “ontologis”-nya yang bersifat
apriori. Istilah ontologi merupakan cabang filsafat mengenai keberadaan. Tetapi
istilah argumentasi ontologis biasanya digunakan untuk argumentasi akan
perlunya keberadaan Tuhan, yang tidak bergantung atas fakta-fakta yang nampak
atau kelihatan melainkan atas implikasi dari ide-ide tertentu. Pernyataan
Anselm mengenai hal itu muncul dalam Proslogion-nya. Di sini Anselm berusaha
menyusun suatu pemaparan logis tentang eksistensi (keberadaan) Tuhan. Ia
menggambarkan Tuhan sebagai Yang terbesar yang dapat dipikirkan (tidak ada yang
lebih besar dari-Nya yang dapat dipikirkan). Argumentasinya biasa dipikirkan
sebagai suatu usaha menarik kesimpulan tentang keberadaan Tuhan dari gagasan
mengenai keberadaan yang paling sempurna. Tidak dapat disangkal bahwa
orang-orang memiliki konsep mengenai satu keberadaan yang sempurna seperti itu
di dalam pikiran mereka. Maka bagaimana mungkin konsep semacam demikian bisa
muncul kalau tidak ada keberadaan yang seperti itu? Kalau itu hanya suatu konsep
di dalam pikiran dan tidak benar-benar ada, maka itu tidak mungkin keberadaan
yang paling sempurna. Sebab mengurangi kualitas eksistensi akan berarti bahwa
pribadi itu tidak sempurna. Menurut tafsiran umum, Anselm menerima sebagian
dari teologi natural / kodrati / metafisik (natural theology-cabang filsafat;
artinya bukan teologi / teologi wahyu / revealed theology - bukan cabang
filsafat). Ia berusaha membuktikan keberadaan Tuhan tanpa memperhatikan iman
serta pengajaran kristen. Ia mencoba menemukan beberapa konsep umum di mana
baik orang-orang percaya maupun tidak percaya dapat diteguhkan dengan harapan:
“memenangkan” mereka yang tidak percaya, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa
percaya terhadap Tuhan bukanlah sesuatu khayalan belaka. Sikapnya ialah:
Buktikan dulu kemudian Anda boleh percaya. Ini mengambil semacam proses dua
langkah dalam apologetika. Langkah pertama adalah memakai filsafat untuk
meletakkan dasar-dasar; langkah kedua adalah memperkenalkan iman Kristen di
atas kekuatan argumentasi-argumentasi filsafat. Kesulitannya memang, jika
langkah pertama gagal, langkah kedua akan tinggal terkatung-katung di udara,
dan kita dibiarkan berpikir-pikir apakah ada alasan-alasan yang tepat untuk
menerimanya.
Thomas sendiri memberikan lima
bukti tentang adanya Tuhan. Titik tolaknya adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak
terbukti atau nyata dengan sendirinya kepada manusia. Itu menuntut bukti.
1. Bukti dari gerak yang ada di
dunia jasmani ini
Sebagaimana suatu sebab dapat
diketahui paling tidak sebagian melalui akibatnya, demikian pula Kausa Pertama
alam semesta dapat diketahui melalui tatanan ciptaan. Setiap gerak di alam
selalu memiliki sebab. Segala sesuatu yang bergerak pasti harus digerakkan oleh
sesuatu yang lain. Hal ini juga berlaku untuk hal-hal yang menggerakkan dirinya
sendiri, karena “hal yang menggerakkan dirinya sendiri” itu pun memiliki
sebabnya. Artinya, ia digerakkan oleh sebabnya itu. Gerak dan menggerakkan itu
tidak dapat berjalan tanpa batas sampai tak terhingga. Harus ada penggerak
pertama. Penyebab atau penggerak pertama itu adalah Tuhan.
2. Bukti dari tertib sebab-sebab
yang berdayaguna
Di dalam dunia yang diamati ini,
tidak pernah ada sesuatu yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri.
Karena seandainya hal itu ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu
harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin. Oleh karena itu, semua
sebab yang berdayaguna menghasilkan sesuatu yang lain. Mengingat bahwa sebab
yang berdayaguna itu juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya,
kesimpulannya harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Sebab berdayaguna yang
pertama itu adalah Tuhan.
3. Bukti dari keniscayaan segala
sesuatu di dunia ini
Segala sesuatu yang ada di dunia
ini dapat saja tidak ada. Jadi, pada saat ini juga bisa jadi tidak ada sesuatu.
Padahal, apa yang tidak ada hanya dapat mulai berada jika diadakan oleh sesuatu
yang telah ada. Jika segala sesuatu yang di dunia ini hanya mewujudkan
kemungkinan saja, “ada” yang terakhir harus mewujudkan suatu keharusan
(keniscayaan). Hal yang mewujudkan sesuatu keniscayaan ini ini “ada-nya” dapat
disebabkan oleh sesuatu yang lain atau memang berada sendiri. Seandainya ia
disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tidak dapat ditarik hingga
tiada batasnya. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tidak
disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Tuhan.
4. Bukti dari derajat-derajat
dalam perwujudan nilai
Di dunia ini ada hal-hal yang
lebih atau kurang baik, lebih atau kurang adil, benar, dst. Untuk menentukan derajat
kebaikan, keadilan, dst tersebut kita mengukurnya dengan memakai yang terbaik,
yang paling adil, dst sebagai ukurannya. Jadi, adanya yang terbaik diharuskan
oleh karena adanya yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik. Oleh karena
itu harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, adil, benar,
mulia, dst. Yang menyebabkan semua itu adalah Tuhan.
5. Bukti dari finalitas
(keterarahan pada akhir dan tujuannya)
Di dunia ini segala sesuatu yang
tidak berakal berbuat menuju kepada akhirnya. Ini tampak dari cara hal-hal tak
berakal itu berbuat, yaitu selalu dengan cara yang sama untuk mendapatkan hasil
yang terbaik. Jadi memang tidak secara kebetulanlah bahwa semua itu mencapai
akhirnya. Mereka memang dibuat begitu. Yang tak berakal itu tidak mungkin
bergerak menuju akhirnya jika tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal,
berpengetahuan. Inilah Tuhan.
Kelima bukti tersebut dapat
menunjukkan bahwa Tuhan itu ada, bahwa ada suatu Tokoh yang menyebabkan segala
sesuatu dan yang berada karena diri-Nya sendiri. Tetapi di samping itu, manusia
dapat juga mengetahui sedikit tentang sifat-sifat Tuhan. Untuk itu Thomas
mengembangkan jalan Triganda (Triplex Via).
Ajaran Tentang Analogi
Thomas Aquinas memaparkan bahwa
pada waktu kita membuat pernyataan-pernyataan tentang Tuhan, berarti kita
sedang menggunakan bahasa secara agak khusus. Kata-kata itu tidak memiliki arti
univocal (kesatuan suara) maupun equivocal (kesamaan suara). Dalam hal yang
pertama, kata-kata kita akan berarti secara teppat sama kapan pun kita
menggunakannya. Namun, pada waktu orang-orang Kristen berbicara mengenai
Kristus sebagai Anak Domba Tuhan, mereka tidak berpikir tentang seekor binatang
berkaki empat dan bebulu halus. Pada saat mereka menyebut Tuhan sebagai Bapa
mereka, mereka tidak bermaksud berkata bahwa Dia adalah seorang manusia, berada
di dalam waktu dan ruang, yang telah melahirkan anak-anak ke dalam dunia ini
melalui proses kelahiran alamiah. Sebaliknya, orang-orang Kristen percaya bahwa
mereka tidak sedang menggunakan bahasa secara equivocal, sehingga kata-kata
mereka bermakna sesuatu pada tingkat atau level manusia, namun semua kata itu
bermakna sesuatu yang berbeda sama sekali pada level agama.
Jika pernyataan-pernyataan agama
termasuk kategori yang pertama, seorang akan menurunkan Tuhan ke tingkat objek
atau ciptaan, yang berada di dalam waktu dan ruang. Kalau semua itu termasuk
kategori yang kedua, bahasa agama akan tidak bermakna. Sebab apapun yang kita
katakan, maksud kita akan agak berbeda dari kata-kata itu. Aquinas menjelaskan
bahwa pernyataan sah tentang Tuhan adalah bersifat analogis. Dengan perkataan
lain, waktu seorang Kristen menyebut Tuhan sebagai Bapa, Dia tidak sepenuhnya
menyerupai dan juga tidak sepenuhnya berbeda dengan apa yang terbaik dalam
bapak-bapak manusia, tapi ada hal yang benar-benar mirip.
Ketiga jalan manusia untuk dapat mengenal Tuhan didasarkan pada hal tersebut, bahwa ada sekaligus kesamaan dan perbedaan dalam cara berada antara Tuhan dan makhluk-Nya. Analogi ini bukan mengenai perkara-perkara yang sampingan, melainkan mengenai perkara paling hakiki yaitu mengenai ada-nya Tuhan dan ada-nya makhluk (analogia entis). Di satu pihak analogi ini menunjuk kepada adanya jarak tak terhingga antara Tuhan dan makhluk, di lain pihak analogi ini juga menunjukkan bahwa para makhluk itu sekadar menampakkan kesamaannya dengan Tuhan.
Baca Juga: Sejarah Pemulihan Tuhan
Berdasar analogi entis ini Thomas
melukiskan ketiga jalan yang harus ditempuh bila mau memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan:
1. Via Positiva atau Via
Affirmativa
Mengingat “analogia entis”, yang
mana berarti bahwa ada kesamaan antara Tuhan dan makhluk (Tuhan memberikan
kebaikan-Nya juga kepada makhluk), dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang
bersifat baik pada makhluk dapat juga dikenakan kepada Tuhan.
2. Via Negativa
Sebaliknya juga harus dikatakan,
mengingat bahwa “analogia entis” pun mengimplikasikan perbedaan antara Tuhan
dan makhluk, bahwa segala yang ada pada makhluk tidak berada pada Tuhan dengan
cara yang sama.
3. Via Eminentiae
Apa yang baik pada makhluk tentu
berada pada Tuhan dengan cara yang jauh melebihi keadaan para makhluk, bahkan
tak terhingga jauhnya kelebihan tersebut.
Ajaran Mengenai Penciptaan
Ajaran ini berkisar pada konsep
partisipasi atau hal mengambil bagian. Gagasan ini berasal dari Plato serta
Augustinus. Pendirian Thomas adalah: segala sesuatu yang diciptakan mengambil
bagian dalam adanya Tuhan. Partisipasi ini buka secara kuantitatif, seolah-olah
tiap makhluk mewakili sebagian kecil dari tabiat ilahi. Melainkan partisipasi
ini secara dependensi, semua ciptaan menurut adanya adalah tergantung pada
Tuhan; dan juga secara analogis terdapat pula kesamaan maupun perbedaan dalam
cara Tuhan berada dan cara makhluk berada.
Thomas juga mempertahankan bahwa
Tuhan bebad dalam menciptakan dunia. Untuk melawan teori emanasi dari
filsuf-filsuf Neo-Platonis yang menganggap dunia mengalir dari Tuhan bagaikan
air yang mengalir dari sumbernya, Thomas memgemukakan ajaran tentang creatio ex
nihilo, penciptaan “dari yang tidak ada”. Dengan ajaran ini Thomas mau
menekankan dua hal. Pertama, dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar yang
sudah tersedia, entah bahan itu Tuhan sendiri (melawan panteisme) entah bahan
itu merupakan sebuah prinsip kedua di samping Tuhan (melawan dualisme).
Ciptaan-ciptaan menurut adanya adalah tergantung pada Tuhan, dan bukan menurut
salah satu aspeknya saja. Kedua, penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja
seakan-akan sesudah saat itu dunia tidak tergantung lagi pada Tuhan Pencipta.
Sebaliknya, penciptaan adalah perbuatan Tuhan yang terus-menerus (creation
continua atau conservatio). Dengan perbuatan penciptaan itu Tuhan terus-menerus
menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara.
Segala sesuatu diciptakan menurut
bentuknya atau idea-nya yang berada di dalam roh Tuhan. Idea-idea tersebut
bukan berada di samping Tuhan, melainkan identik dengan Dia. Idea tersebut
adalah satu dengan hakikat-Nya. Namun ini tidak berarti bahwa dunia suda ada
sejak kekal. Dunia ada awalnya. Secara filosofis memang tidak mustahil bahwa
dunia diciptakan dari kekal. Hanya saja, filsafat tidak bisa membuktikan bahwa
dunia mempunyai permulaan dalam waktu. Atas kesaksian kitab sucilah kita tahu
bahwadunia memiliki permulaannya.
Filsafat Manusia
Thomas sangat menekankan bahwa
manusia adalah suatu kesatuan yang terdiri dari jiwa dan badan. Plato
menganggap jiwa sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sebuah substansi lengkap
yang ada di dalam penjara tubuh jasmani manusia. Melawan anggapan Plato ini,
Thomas mengajarkan bahwa pertautan antara jiwa dan tubuh manusia harus dilihat
antara bentuk (jiwa) dan materi (tubuh). atau, hubungan jiwa dan badan tersebut
juga bisa dilihat dalam hubungan antara aktus (perealisasian) dan potensi
(bakat). Jadi, manusia itu satu substansi saja. Satu substansi sedemikian rupa
sehingga jiwalah yang menjadi bentuk badan (anima foma corporis). Dengan
perkataan lain, jiwalah yang membuat tubuh menjadi realitas. Jiwa menjalankan
aktivitas-aktivitas yang melebihi sifat badani belaka. Aktivitas itu adalah
berpikir dan berkehendak. Keduanya itu merupakan aktivitas rohani. Ini sesuai
dengan prinsip agere sequitur esse yang artinya cara bertindak itu sesuai
dengan cara beradanya. Karena jiwa bersifat rohani, maka setelah manusia mati,
jiwanya hidup terus. Dalam kesimpulan ini Thomas mempertahankan adanya
kekekalan jiwa (melawan pendapat Aristoteles). Thomas mengajarkan bahwa setelah
kematian jiwa akan hidup terus dalam wujudnya sebagai bentuk. Ini berarti bahwa
jiwa tetap mempunyai keterarahan kepada badan (materi). Dan, hal ini rupanya
cocok dengan ajaran kristiani mengenoi adanya kebangkitan badan. Ajaran ini
jelas akan sulit dibenarkan oleh seorang filsuf yang mencari kebenaran atas
dasar rasio belaka.
Menurut Thomas, setiap perbuatan
- termasuk juga kegiatan berpikir dan berkehendak - adalah perbuatan dari
segenap pribadi manusia. Setiap perbuatan manusia adalah perbuatan “aku”, yaitu
jiwa berubuh atau tubuh berjiwa. Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh
manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, yaitu bentuk rohani. Bentuk rohani
inilah yang sekaligus membentuk hidup lahiriah dan batiniah manusia. Jiwa yang
satu ini memiliki lima daya, yaitu: daya vegetatif, merupakan daya yang
bergubungan dengan pergantian zat dan pembiakan; daya sensitif, merupakan daya
yang behubungan dengan keinginan; daya yang menggerakkan; daya untuk memikir;
dan daya untuk mengenal. Untuk dapat memikir dan mengenal, dalam diri manusia
tersedia akal dan kehendak. Menurut Thomas, akal adalah daya tertinggi dan
termulia dari manusia. Akal lebih penting daripada kehendak karena yang benar
(kebenaran) itu lebih tinggi daripada yang baik (kebaikan). Oleh karena itu
juga, mengenal adalah perbuatan yang lebih sempurna dari pada menghendaki.
Pandangan Thomas mengenai
pengenalan ini berhubungan erat sekali dengan pandangannya tentang pertautan
antara jiwa dan tubuh. Pada dirinya sendiri jiwa bersifat pasif, baik dalam
pengenalan iderawi maupun dalam pengenalan akali. Pelaku atau subjek dalam
pengenalan adalah kesatuan jiwa dan tubuh yang berdiri sendiri. Proses
pengetahuan berlangsung dalam tingkat sebagai berikut: Yang pertama adalah
pengetahuan pada tingkat inderawi. Pengetahuan pada tingkat ini bertitik
pangkal pada pengalaman inderawi, lewat benda-benda yang ada di luar.
Penginderaan dengan daya-daya indera ini akan menghasilkan gambaran-gambaran
yang diberikan kepada akal. Yang kedua adalah pengetahuan pada tingkat akali.
Menurut Thomas, akal pada dirinya sendiri hanyalah seperti sehelai kertas yang
belum ditulisi. Akal tidak mempunyai idea-idea sebagai bawaannya. Sasaran
pengenalan akal diterima dari luar melalui gambaran-gambaran iderawi. Hakikat
itu kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang dapat dikenal. Pengetahuan
terjadi jika akal berhasil memungut bentuk itu dan berhasil mengungkapkannya.
Jadi, pengetahuan akali ini tergantung kepada benda-benda yang diamati oleh
indera.
Ajaran Mengenai Etika
Kita harus melakukan yang baik
dan menghindari yang jahat. Namun, darimana kita mengetahui apa yang baik dan
apa yang jahat. Menurut Thomas, kita mengetahuinya dari Hukum Kodrat, yang
dapat kita ketahui melalui akal budi kita. Dari Hukum Kodrat kita mengetahui
perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum Kodrat mengacu kepada
kodrat. Kodrat adalah realitas, atau struktur realitas, kahikat realitas yang
ada. Apa pun yang ada memiliki kodratnya; kodratnya itu memuat semua ciri yang
khas bagi masing-masing pengada. Dalam bahasa kita, segenap makhluk ada
struktur-strukturnyal kegiatan dan perkembangannya mengikuti struktur-struktur
itu. Pengembangan kodrat merupakan tujuan masing-masing makhluk.
Hukum Kodrat sebenarnya dapat
dipahami dengan mudah. Gagasan dasarnya berbunyi: Hiduplah sesuai dengan
kodratmu! Nah, Hukum Kodrat itu muncul dalam dua bentuk. Yang pertama, hukum
alam. Bagi semua makluk bukan manusia di dunia ini hujkum kodrat itu sama
dengan hukum alam. Artinya, mereka itu lahir, tumbuh, berkembang, dan mati
menurut hukum alam masing-masing. Hukum alam itu memuat hukum alam fisika dan
kimia, hukum perkembangan organik dan vegetatif, serta struktur-struktur
kesadaran seperti insting pada binatang. Pada manusia pun lapisan-lapisan
fisiko-kimia, vegetatif, dan instingtual berkembang menurut hukum alam. Makhluk
dengan sendirinya mengikuti hukum alam, dan ia tidak dapat menyeleweng darinya.
Namun, manusia adalah makhluk rohani dan karena itu ia bebas. Artinya, ia dapat
menentukan sendiri apa yang dilakukan. Dalam bertindak manusia tidak ditentukan
oleh Hukum Kodrat. Karena itu bagi manusia kodrat merupakan hukum dalam arti
sesungguhnya, yaitu sebuah norma yang diharuskan yang dapat diketahui, dan di
situ manusia harus menentukan sendiri apakah mau taat atau tidak padanya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menyeleweng dari kodratnya, yang
dapat bertindak tidak sesuai dengan kodratnya, melawan kodratnya. Bagi manusia
Hukum Kodrat sama dengan hukum moral. Hukum Kodrat adalah apa yang sekarang
kita sebut sebagai prinsip-prinsip dan norma-norma moral. Jadi, bagi manusia
Hukum Kodrat betul-betul berupa hukum dalam arti normatif.
Baca Juga: HIKMAT DALAM KITAB AMSAL DAN KONTRIBUSINYA BAGI PEMUDA MASA KINI
Menurut Thomas, manusia hidup
dengan baik apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya, buruk apabila tidak
sesuai. Mengapa demikian? Karena manusia hanya dapat mengembangkan diri, hanya
dapat mencapai tujuannya apabila ia hidup seusai dengan kodratnya. Orang yang
hidup berlawanan dengan kodratnya tidak akan mencapai tujuannya, tidak akan
mengembangkan dan mengaktualisasikan seluruh potensinya. Karena itu, moralitas
terdiri dalam tindakan yang mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya. Apa
artinya hidup seusai dengan kodrat? Gagasan dasarnya, yang diambil dari
Aristoteles, adalah bahwa manusia memiliki kecenderungan vegetatif, sesnsitif
(perasaan, emosi, kesadaran, instingtual), dan rohani. Yang khas bagi manusia
adalah kerohaniannya. Manusia bertindak sesuai dengan kodratnya, apabila ia
menyempurnakan diri sesuai dengan kekhasannya, jadi dengan kerohaniannya. Ia
harus mengembangkan diri sebagai makhluk rohani, sedangkan penyempurnaan
kekuatan-kekuatan emosional dan vegetatif harus dijalankan sedemikian rupa
sehingga menunjang penyempurnaannya sebagai makhluk rohani. Hierarki dalam
hakikat manusia sendiri perlu dijaga.
Setiap tindakan manusia akan
sesuai atau tidak sesuai dengan akal budi, maka secara moral mesti bersifat
baik atau buruk, tidak ada yang netral. Moral diturunkan dari cara beradanya
manusia diciptakan oleh Tuhan, yakni sebagai makhluk berakal budi yang bersifat
sosial. Tujuan terakhir hidup manusia adalah memandang Tuhan, di mana Tuhan
sebagai Hukum Abadi yang merupakan sumber Hukum Kodrat itu sendiri. Hukum
Kodrat mencerminkan dan mengungkapkan Hukum Abadi yaitu kebijaksanaan Ilahi.
Dengan menaati Hukum Kodrat, kita sekaligus menaati Hukum Abadi, jadi kita taat
kepada kebijaksanaan Ilahi. Itulah sebabnya hidup sesuai dengan kodrat bukan
sekadar perbuatan yang bijaksana, melainkan suatu keharusan. Oleh karena itu
hidup perseorangan harus diarahkan ke situ. Harus, karena Tuhan menghendakinya.
Seluruh masyarakat harus diatur sesuai dengan tuntutan tabiat manusia. Dengan
itu masyarakat akan membantu orang perorangan untuk menaklukkan nafsu-nafsunya
kepada akal dan kehendak. Menurut Thomas, nafsu pada dirinya sendiri baik.
Tetapi nafsu menjadi jahat kalau melanggar kawasan masing-masing dan tidak
mendukung akal dan kehendak (terkena distorsi). Cita-cita kesusilaan bukanlah
untuk mematikan nafsu, melainkan untuk mengaturnya sedmikian rupa sehingga
nafsu tersebut dapat membantu manusia dalam usahanya merealisasikan tugas
terakhir hidupnya. Bagaimanapun juga kejahatan tidak berada sebagai kekuatan
yang berdiri sendiri. Kejahatan tidak diciptakan oleh Tuhan. Kejahatan muncul
dan ada di mana tiada kebaikan.
Dalam etikanya, Thomas melampaui
metode filosofis murni dan berbicara sebagai orang beriman, sebagai orang
Kristen. Dalam arti ini etika Thomas memiliki unsur teologis. Namun, tentu
tidak dalam arti eksklusif. Karena unsur teologis itu tidak menghilangkan
cirinya yang khas filosofis, bahwa etika itu memungkinkan orang menemukan garis
hidup yang masuk akal, tanpa mengandaikan kepercayaan atau keyakinan agama
tertentu. Etika Thomas tidak sekadar merupakan etika peraturan, yang
mendasarkan kewajiban moral manusia pada kehendak Tuhan yang mereduksikan sikap
moral manusia pada pertanyaan: boleh atau tidak boleh? Pertanyaan itu tidak
memberi ruang kepada salah satu paham moral yang paling penting dan paling
dibutuhkan pada jaman pascatradisional, yaitu tanggung jawab. Thomas mengatasi
kelemahan itu karena Hukum Abadi yang diperintahkan oleh Tuhan adalah
pengembangan dan penyempurnaan manusia sendiri. Jadi, ada Rasionalitas Internal
: hidup menurut Hukum Kodrat bukan hanya memenuhi perintah Tuhan, melainkan
memang sesuai dengan dinamika internal manusia sendiri. Dengan demikian,
manusia menemukan diri, menjadikan diri nyata. Ketakwaan dan kebijaksanaan
menyatu: takwa karena taat kepada Tuhan (yang menjadikan manusia bahagia,
karena ia menemukan kepenuhan dan kesempurnaannya), bijaksana karena memang
demi keutuhan manusia sendiri (yang menjadikan manusia semakin pandai dalam
cara mengurus hidupnya, sehingga maju, bermakna, terasa bermutu - berseni,
bukan tenggelam dalam pola etika kewajiban semata seperti dicanangkan Kant).
Baca juga: Tafsir Kitab Keluaran 24:1-18
0 Komentar