Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki sebuah keinginan dalam hidupnya. Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan hati manusia, mereka harus berusaha untuk mendapatkannya. Untuk mencapainya dibutuhkan sebuah usaha dan kerja keras. Pada saat ini manusia sedang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan dan saling bersaing untuk mendapatkannya. Namun sebagian dari mereka ada yang beranggapan bahwa harta benda yang diberikan Tuhan merupakan sebuah titipan sehingga mereka tidak terlalu pusing untuk memikirkan harta benda yang dipunyainya.
Beberapa orang beranggapan bahwa kebanyakan waktu yang mereka habiskan hanya untuk bekerja dan melaksanakan tugas pekerjaan mereka. Bahkan mereka beranggapan bahwa waktu mereka tidak ada dan bahkan habis untuk keluarga karena kesibukan selalau menghampiri mereka karena masalah pekerjaan. Mereka ingin menghabiskan waktu yang mereka punyai untuk keluarga mereka dan mereka bisa melakukannya pada akhir pekan.
Berbicara mengenai pekerjaan, beberapa orang menyalah artikan kata “segala sesuatu adalah sia-sia” yang terdapat dalam Kitab Pengkhotbah. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, segala pekerjaan mereka, segala aktifitas mereka dan bahkan hidup ini mereka anggap sia-sia, sehingga mereka mulai bermalas-malasan dan tidak lagi bekerja, sebab mereka beranggapan apa yang mereka lakukan semua adalah sia-sia.
Untuk itu, orang percaya harus mengetahui pemahaman yang benar akan makna kata “segala sesuatu adalah sia-sia” agar mereka tidak terjebak dalam kemalasan dan kemiskinan dengan tidak mau melakukan apa-apa dalam hidupnya. Relevansi akan pemahaman kata ini diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi kehidupan kekristenan masa kini, agar tidak terjebak pada pemahaman yang salah mengenai hidup yang Tuhan telah beri.
1.2 Pengertian Sia-sia
Menurut KBBI sia-sia berarti terbuang-buang saja; tidak ada gunanya, harganya, manfaatanya, hasilnya; dan percuma.[1] Sia-sia merupkan suatu keadaan dimana apa yang telah dilakukan tidak berfaedah atau bermanfaat apa-apa. Sia-sia dapat juga bersumber dari sebuah kegagalan, dimana ketika seseorang melakukan suatu hal namun tidak dapat mencapai tujuannya karena kelalaiaan dan sebagainya sehingga apa yang telah dibangunnya selama ini tidak bisa mencapai apa yang diinginkannya. Segala usaha yang telah dilakukannya tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kesia-siaan, sebab hanya membuang-buang waktu dan merugikan biaya, tenaga dan waktu. Namun hal ini kan sangat berbeda jika kegagalan tersebut dapat diatasi dan pada akhirnya tetap dapat mencapai tujuannya tersebut.
Sia-sia berarti tidak mendapatkan apa-apa padahal telah bersusah payah dan berjerih lelah untuk mengusahakan dan melakukan suatu hal. Seperti halnya seorang yang berusaha menjaring angin adalah sebuah usaha yang sia-sia, dimana ia telah mengeluarkan tenaga guna menjaring namun tetaplah sampai kapanpun ia tidak akan pernah mendapatkanya.
Bab II
Isi
2.1 Pengertian Sia-sia Dalam Kitab Pengkhotbah
2.1.1 Pengantar Kitab Pengkhotbah
Dalam Alkitab Bahasa Latin, kitab ini dikenal dengan dengan nama “Ecclesesiastes” yang berarti gereja, Eclesiastes berarti pengkhotbah di dalam jemaat.[2] Kata pengkhotbah merupakan terjemahan dari kata Ibrani yaitu Qohelet yang berarti Guru, Pengkhotbah, Pembicara Filsuf; sebuah kata yang kelihatannya lebih menunjukkan jabatan resmi penulis, bukan namanya. Menurut Denis Green, nama Kitab Pengkhotbah diambil dari ayatnya yang pertama yang menyebutkan penulisnya sebagai ‘Pengkhotbah’. Kata ini juga dapat diartikan sebagai ‘Guru’ yang barangkali merujuk pada jabatan resmi misalnya sebagai orang yang bertugas mengadakan persidangan orang Israel.[3] Walau nama kitab ini diberi nama Pengkhotbah namun tidak berarti kitab ini berisi khotbah, tetapi lebih kesebuah refleksi dari sang pengkhotbah. Itulah kitab ini tidak sama dengan kitab Amsal, tetapi berisi nasehat-nasehat praktis yang dapat langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Kitab Pengkhotbah mengambil bahannya dari pengamatan sendiri mengenai pandangan hidupnya dan bukan berasal dari Taurat maupun kitab para nabi.[5] Beberapa orang berpendapat bahwa bentuk sastra dari Kitab Pengkhotbah berasal dari zaman sesudah pembuangan, namun bentuk-bentuk sastranya yang unik tidaklah dapat digunakan untuk menentukan tanggal kepenulisan kitab ini. Menurut tradisi Yahudi, Salomolah yang menuliskan Kitab Kidung Agung pada masa mudanya, Kitab Amsal pada masa pertengahan hidupnya dan Kitab Pengkhotbah pada masa tahun-tahun akhir hidupnya. Kitab ini mungkin menggambarkan penyesalan akan segala kebodohannya dan waktu yang terbuang sia-sia akibat hawa nafsu dan penyembahan berhala.[6]
Kalangan penafsir Yahudi tradisional menganggap bahwa pengarang Kitab Pengkhotbah adalah Raja Salomo. Walaupun dalam keseluruhan kitab tidak tersurat nama Salomo di dalamnya. Namun dalam pasal 1:1 dikatakan bahwa ia adalah anak raja Israel yang dianggap sebagai Salomo dan dalam kitab ini juga berbicara mengenai kekayaan dan hikmat yang dapat dihubungkan dengan hikmat dan kekayaan Salomo.[7] Selain itu, pada pasal 1:16 dikatakan bahwa “lebih dari semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku”. Peryataan tersirat ini hanya terdapat dalam pasal 1 dan 2, lagi pula banyak hal yang dikatakan Qohelet yang mengisyaratkan adanya gerakan hikmat yang sudah berkembang sebagaimana dicerminkan dalam Kitab Amsal. Penulis dari Kitab Pengkhotbah ialah jelas seorang yang yang bijak yang berhasrat untuk menantang pendapat-pendapat dan niai-nilai orang-orang bijak yang lain. namun ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang Yahudi dari Finesia atau Aleksandria, namun pendapat ini tidaklah diterima secara lauas. Apabila penulis Kitab Pengkhotbah bukanlah Salomo, lantas mengapa Qohelet menghubungkan dirinya dengan Raja Salomo yang besar. Secara sederhana, ia sedang mencari pengaruh bagi tulisannya, dan Salomo merupakan satu-satunya keturunan Daud yang memerintah di Israel di Yerusalem.[8]
Para ahli Protestan sejak masa Luteran berpendapat bahwa Kitab Pengkhotbah ditulis setelah masa Salomo, meskipun hal ini cukup bertentangan dengan tradisi rabi yang hampir bulat mengatakan bahwa Salomo adalah penulisnya. Pandangan para rabi ini didasarkan pada penafsiran harafiah Pengkhotbah 1:1 dan kecenderungannya untuk menghubungkan nama Salomo dengan semua tulisan hikmat, karena Salomo dipandang sebagai seorang bapa yang penuh kebijaksanaan, sama seperti Daud bapanya yang dihubungkan dengan bapa pemazmur.[9]
Hal lain yang bertentangan akan kepenulisan Salomo adalah pandangan liberal, dimana mereka beranggapan bahwa Kitab Pengkhotbah ditulis pada masa yang terkemudian dalam sejarah Israel tahun 222-250 BC, pada zaman pembuangan, alasannya ialah:
1. Bahasa yang telah di campur dengan bahasa Aram, dimana bahasa ini merupakan bahasa yang baru dikenal setelah masa pembuangan.
2. Keadaan masyarakat dalam Kitab Pengkhotbah yang tidak sesuai dengan keadaan zaman Raja Salomo (4:1, 3, 5-6; 7:27-28).
3. Penulis yang tidak mencantumkan nama dirinya secara eksplisit.
Kepenulisan Salomo pada Kitab Pengkhotbah dapat dikuatkan dengan adanya bukti internal dan eksternalnya, antara lain:
1. Bukti eksternal
Tradisi Talmud Yahudi mengatkan bahwa penulis kitab ini disebut sebagai Salomo, tetapi juga mengesankan bahwa ahli kitab yang menjadi pegawai Hizkia mungkin telah menyunting naskah tersebut (bdk Ams. 25:1). Pemahaman Alkitab yang telah diketahui bersama ialah bahwa Kitab Pengkhotbah ditulis oleh Raja Salomo, meski beberapa peneliti kitab, termasuk talmud, menganggap bahwa karya tersebut telah mendapatkan suntingan selama zaman Hizkia atau bahkan mungkin zaman Ezra.
2. Bukti internal
Penulis menyebutkan bahwa dirinya adalah “Anak Daud, Raja di Yerusalem” (1:1, 12). Salomo merupakan keturunan Daud yang paling memenuhi syarat untuk pencarian yang ditunjukkan dalam kitab ini. Ia adalah yang paling bijaksana yang pernah mengajar di Yerusalem (Pkh. 1:16; 1 Raj. 4:29-30). Diskripsi penyelidikan penulis mengenai kegirangan (2:1-3), pencapaian-pencapain yang mengagumkan (2:4-6), dan kekayaan yang tiada taranya (2:7-10) hanya dapat dipenuhi oleh Raja Salomo. Amsal-amasal yang ada dalam kitab ini mirip dengan yang ada dalam Kitab Amsal (mis. 7:10). Menurut pasal 12:9, Pengkhotbah mengoreksi dan mengubah banyak amsal, kemungkinan mengacu pada kumpulan Salomo dalam Amsal.[10]
Kitab Pengkhotbah sebenarnya tidak berbentuk puisi, tetapi bunyi kata-kata dalam ayat-ayatnya tampak disengaja untuk mendapatkan efek puitis pada pembaca/pendengarnya.[11] Tujuan Pengkhotbah manuliskan kitab ini ialah untuk mengajar dan mendidik yang berusaha untuk menyampaikan kepada muridnya yang masih muda, berbagai manfaat konseptual maupun praktis yang telah diperolehnya selama bertahun-tahun melalui perenungan dan pengalaman. Sangatlah jelas bahwa ia adalah seorang yang sangat kaya raya yang mengajar kaum muda kalangna atas yang berpotensi menjadi seorang pemimpin. Menyadari akan adanya potensi mereka dalam menghimpun harta sebagai senjata penindas dan ketidak adilan, maka Qohelet berusaha untuk mengajar mereka agar mereka menjadi seorang pemimpin. Sebagai seorang pengajar yang baik, maka Qohelet ingin memberikan kepada murid-muridnya suatu pendekatan terhadap kehidupan, yang akan menghindarkan mereka ke jalan yang di tengah, dimana mereka dapat memilih kekayaan yang terbaik dan juga hikmat. Makna dari Kohelet bisa dipahami dengan melihat tiga ciri khas pemikirannya: 1) mencari kebahagiaan dan hakikat yang kekal, 2) kedaulatan dan pemeliharaan ilahi, dan 3) mengambil jalan terbaik dalam tindakan dan tingkah laku.[12]
Pengkhotbah dengan tajam melihat kehampaan dan kesia-siaan dari kekuasaan, kemasyuran, martabat, dan kesenangan yang terpisah dari Allah. Pengkhotbah mengatakan bahwa hidup itu tidak adil, dimana ada orang yang berkerja keras dengan mencurahkan segala kemampuannya untuk masa depannya namun tiba-tiba datanglah kematian. Apa yang terjadi dalam hidupnya semua sia-sia belaka, dimana ia tidak dapat menikati segala usahanya dan jerih lelahnya. Bahkan Pengkhotbah mengatakan bahwa, “Oleh sebab itu aku membenci hidup karena aku menghadap menyusahkan apa yang dilakukan dibawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkh. 2:17).[13]
2.1.1 Kesia-siaan Dalam Kitab Pengkhotbah
Kata sia-sia (Habel) jika diartikan secara literal dapat berarti: hembusan nafas (breath), asap, kabut, uap (Yesaya 57:13; Amsal 21:6). Dengan demikian sia-sia merupakan hal yang sebentar atau sekejap mata saja yang sebentar kelihatan dan sebentar lagi tidak. Secara figuratif sia-sia berarti: tidak bernilai (worthless), Sombong, atau tidak berguna (vanity).
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru, terdapat kata sia-sia yang muncul sebanyak 86 kali dan dalam Kitab Pengkhotbah muncul sebanyak 15 kali. Dengan demikian ungkapan sia-sia mendominasi hampir diseluruh pasal kitab tersebut. Dan segala sesuatu bagi Pengkhotbah adalah kesia-siaan.[14]
Kehidupan “di bawah matahari” ialah kehidupan sebagai mana yang dijalani manusia, dimana tanpa Allah adalah sia-sia, tiada arti, tiada tujuan, kosong, dan merupakan sebuah gambaran suram. Kehidupan ini tidak adil; bekerja itu tidak ada gunanya; kesenangan tidak dapat memberi kepuasan; kehidupan yang tidak baik dan pikiran yang bijaksana menjadi sia-sia karena pada akhrinya menghadapi kematian.[15]
Kehidupan “dibawah matahari” disebutkan dua puluh sembilan kali, tampaknya dipenuhi ketidak adilan. Pengkhotbah tidak memberikan jawaban secara ateistik ataupun skeptik. Malahan ia mengatakan bahwa puncak pencarian manusia akhirnya akan berujung pada Allah. Kepuasan hidup hanya akan ditemukan dengan memandang jauh melampaui dunia. Pengkhotbah memberikan ulasan tentang tema-tema negatif, tetapi juga membangun tema yang positif untuk mengatasi kesia-siaan yaitu dengan hidup takut akan Allah yang baik, adil dan berdaulat (12:13-14). Hikmat melihat hidup dari perspektif ilahi dan menaruh harapan hanya pada Allah pada saat putus asa dan kehilangan tujuan. Hidup merupakan berkat yang diberikan setiap hari oleh Allah dan oleh karena harus dinikmati sebaik-baiknya (2:24-26). Pengkhotbah menyadari bahwa pada akhirnya Allah akan menghakimi semua orang, oleh karena itu ia menyerukan bahwa, “takut akan Allah dan berpegang pada perintah-perintah-Nya.[16]
Salah satu tema Kitab Pengkhotbah ialah “segala sesuatu adalah sia-sia”, tema ini dapat menimbuklan penafsiran bahwa kitab Pengkhotbah bisa bersifat psimistis, sebab penulis Kitab Pengkhotbah beranggapan bahwa tidak ada sesuatu yang perlu diharapkan dari kehidupan di dunia ini, karena segala sesuatu adalah sia-sia. Penafsiran yang lain ialah bahwa kitab ini bersifat skeptis (ragu-ragu), baik tentang kehidupan didunia ini maupun kehidupan sesudah kematian (1:8, 12-18; 3:9, 19-21).
Segala sesuatu dikatan sia-sia oleh Pengkhotbah, hal ini tidak berarti bahwa segala yang ada adalah sia-sia sehingga manusia menjadi bermalas-malas dan tidak mau melakukan apa-apa sebab segala sesuatu adalah sia-sia. Segala sesuatu adalah sia-sia jika hidup ini berada di bawah matahari. Namun bukan berarti bahwa seluruh hidup ini adalah sia-sia selama berada di dunia, sebab selama masih berada di dunia manusia masih berada di bawah matahari. Tetapi hidup ini akan sia-sia saja jika hanya berada di bawah matahari dan sebaliknya hidup ini harus berada di bawah sang pencipta, yaitu Tuhan. Hidup akan sia-sia jika tidak berada di bawah Tuhan, sebab manusia yang tidak mengandalkan Tuhan akan cenderung untuk melakukan segala sesuatu dengan usahanya sendiri dan jikalau manusia hanya mengandalkan kemampuannya sendiri tanpa Tuhan segala usahanya itu hanya akan sia-sia saja.
Bab III
Pembahasan
3.1 Relevansi Makna Kata Sia-sia Pada Masa Kini
Seringkali pemahaman akan kesia-siaan disalah artikan orang kristen. Kitab Pengkhotbah diartikan secara harafiah sehingga dalam memahami makna kata “segala sesuatu adalah sia-sia” menjadi salah arti juga. Mereka hanya membacanya secara sepintas sehingga mereka berfikiran benar akan apa yang dikatakan oleh Pengkhotbah bahwa semuanya adalah sia-sia. Tanpa berfikir apa yang sebenarnya adalah sia-sia, mereka langsung memukul rata pada segala sesuatu adalah sia-sia.
Pemahaman akan “segala sesuatu adalah sia-sia” dalam kitab penghotbah adalah bahwa, segala sesuatu yang dilakukan di luar Tuhan adalah kesia-siaan. Segala yang dilakukan manusia tanpa Tuhan hanyalah kesia-siaan belaka, sebab tidak ada manfaatnya dan hanya sebentar saja. Namun segala sesuatu haruslah dilakukan dibawah bimbingan dan pimpinan Tuhan, sehingga apa yang dilakukan dan dikerjakan adalah untuk Tuhan.
Dengan pemahaman akan segala sesuatu sia-sia diluar Tuhan, membuat manusia selalu bergantung kepada Tuhan dalam segala pekerjaan yang dilakukannya. Orang percaya akan selalu menyerahkan segala perencanaan dan pekerjaannya kedalam tangan Tuhan yang berkuasa atas segalanya.
Makna kata “segala sesuatu adalah sia-sia” sangat berperan dalam memberikan pemahaman kepada orang percaya agar dalam melakukan segala sesuatunya di dasarkan pada takut akan Tuhan dan memohon bimbingan dan pernyertaan-Nya. Segala sesuatu didasarkan pada kehendak Tuhan serta tidak mengandalkan kekuatan diri sendiri. Segala sesuatu akan menjadi sia-sia jika tidak memohon bimbingan Tuhan, dan segala sesuatu menjadi berguna jika didasarkan pada kehendak dan bimbingan Tuhan.
BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan
Sia-sia berarti terbuang, tidak berguna, tidak menghasilkan hasil, percuma, segala yang dilakukan tidak berarti. Dalam Kitab Pengkhotbah terdapat frasa kata yang mengatakan bahwa “segala sesuatu adalah sia-sia”. Kesia-siaan dalam kitab ini tidaklah sekedar dimaksudkan sia-sia begitu saja pada umumnya, namun memiliki pemahaman tersendiri akan kesia-siaan dalam pengkhotbah yang oleh beberapa orang disalah artikan.
Kepenulisan Kitab Pangkhotbah masihlah diperdebatkan, walau banyak orang yang mengatakan pada Salomo. Hal ini dikaitkan dengan pasal 1:1 yang menyebutkan bahwa penulis adalah anak Daud raja di Yerusalam yang merujuk pada Salomo.
Segala sesuatu adalah sia-sia yang dimaksudkan dalam Kitab Pengkhotbah ialah, bahwa segala sesuatu yang tidak didasarkan pada Tuhan hanyalah sia-sia belaka, tidak berarti dan tidak ada gunanya. Jika hidup ini hanya berada dibawah matahari, semua itu adalah sia-sia belaka. Tetapi hidup ini haruslah berada di bawah sang pencipta matahari, yaitu Tuhan sendiri. Sehingga segala sesuatu tidaklah sia-sia namun dapat bermanfaat baik untuk saat ini maupun hidup yang akan datang.
Daftar Pustaka
KBBI Online/sia-sia diakses pada hari kamis, tanggal 28 November 2019 pukul 17:20.
Blommendal, J. 1983. Pengantar Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Green, Denis. 2012. Pembimbing Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas.
Yohanes Krismoyanto, “Memaahami Kiasan-kiasan Dalam Kitab Pengkhotbah”. DUNAMIS: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen 2.1. (2017)
Lasor, W. S., dkk. 2009. Pengantar Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wikinson, Bruce dan Kenneth Boa. 2017. Talk Thru The Bible. Malang: Gandum Mas.
Emanuel Gerrit Singgih, Hidup Dibawah Bayang-bayang Maut: Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. (Jakarta: Gunung Mulia, 2001
Bullock, C. Hassell. 2003. Kitab-kitab Puisi Dalam Perjanjian Lama. Malang: Gunung Mas.
Hand Book To The Bible. Malang: Kalam Hidup.
[1] KBBI Online/sia-sia diakses pada hari kamis, tanggal 28 November 2019 pukul 17:20.
[2] J. Blommendal, Pengantar Perjanjian Baru. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 158.
[3] Denis Green, Pembimbing Pengenalan Perjanjian Lama. (Malang: Gandum Mas, 2012), 140
[4] Yohanes Krismoyanto, “Memaahami Kiasan-kiasan Dalam Kitab Pengkhotbah”. DUNAMIS: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen 2.1. (2017), 75-87.
[5] W.S. Lasor dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2.(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 145.
[6] Bruce Wilkinson dan Kenneth Boa, Talk Thru The Bible. (Malang: Gandum Mas, 2017), 225.
[7] Emanuel Gerrit Singgih, Hidup Dibawah Bayang-bayang Maut: Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 1.
[8] Opcit., 225.
[9] W. S. Lasor dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 146.
[10] Bruce Wilkinson dan kenneth Boa, Talk Thru The Bible. (Malang: Gandum Mas, 2017), 226.
[11] Loc., Opcit., 53.
[12] C. Hassell Bullack, Kitab-kitab Puisi Dalam Perjanjian Lama. (Malang: Gandum Mas, 2003), 248.
[13] Susanta, Yohanes Krismayanto. “Memahami Kesia-siaan Dalam Kitab Pengkhotbah”. DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2. 1 (2017) 75-87.
[14] Yohanes Krismanto Susanta, “Memahami Kesia-siaan Dalam Kitab Pengkhotbah”. DUNAMIS: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani 2.1 (2017):
[15] Hand Book To The Bible. (Malang: Kalam Hdiup), 406.
[16] Bruce Wilkinson dan Kenneth Boa, Talk Thru The. (Malang: Gandum Mas, 2017), 225-226.
0 Komentar